Menjaga Denyut Nadi Usaha Kecil dari Gempuran Produk Impor
Produk UMKM dalam negeri kalah saing dengan barang-barang murah yang dijajakan pada platform dagang daring atau ecommerce.
Kemajuan teknologi memanjakan orang dalam banyak hal. Jarak dan waktu tak lagi menjadi masalah di dunia yang serba digital saat ini.
Kemudahan itupun dirasakan oleh masyarakat dalam hal berbelanja. Cukup mengarahkan jari telunjuk ke layar ponsel, barang idaman bisa tiba di depan rumah.
Pernak-pernak gawai dari China, atau produk-produk kosmetik yang dijual di negeri seberang pun bisa dimiliki. Tak peduli jarak, ada uang ada barang.
Bisa untung, bisa rugi. Tergantung perspektif mana yang diambil. Namun, yang jelas ada pihak dirugikan apabila praktik belanja atau impor barang secara langsung dari luar negeri.
Adalah usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang harus merintih menahan gempuran barang impor.
Produk UMKM dalam negeri kalah saing dengan barang-barang murah yang dijajakan pada platform dagang daring atau ecommerce. Penjualan UMKM tergerus dengan kemajuan zaman di tengah upaya digitalisasi produk.
Studi World Economic Forum (WEF) menggambarkan realitas tergerusnya produk UMKM oleh barang impor.
Pada 2021, hanya 25 persen hijab yang diproduksi oleh pengusaha lokal. Sementara mayoritas, 75 persen, dikuasai oleh produk impor. Padahal, masyarakat Indonesia menghabiskan US$6,9 miliar untuk membeli 1,02 miliar hijab setiap tahun.
WEF juga membuka tabir bahwa porsi produk lokal yang dijajakan di salah satu pasar terbesar di Asia Tenggara, Tanah Abang, terus menurun. Dari awal 2000 sebesar 80 persen menjadi 50 persen pada 2021.
Kondisi UMKM kian terjepit dengan adanya rencana penyedia layanan video pendek, TikTok, untuk membuka Project S TikTok Shop di Indonesia. Rencana project itu menjadi lampu kuning bagi produk UMKM.
Tak mau kalah saing, pemerintah mencoba membuat pagar untuk melindungi produk lokap pada produk impor.
Menteri Koperasi dan UKM (MenKop UKM) Teten Masduki mengatakan untuk mengatasi ancaman ini sudah seharusnya disiapkan regulasi, salah satunya revisi Permendag Nomor 50/2020.
Apalagi, revisi aturan ini sudah diwacanakan sejak tahun lalu, tetapi hingga kini masih belum terbit. Padahal, ada banyak UMKM yang bisnisnya mulai redup lantaran belum muncul jua kebijakan terbaru tentang PSME.
"Ini sudah sangat urgent. Untuk menghadirkan keadilan bagi UMKM di pasar e-commerce, Kemendag perlu segera merevisinya. Aturan ini nampaknya macet di Kementerian Perdagangan," kata Teten.
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengatakan dalam revisi aturan itu, pemerintah akan mengatur kebijakan untuk barang impor dengan yang dijual dengan harga minimal Rp1,5 juta.
Dia pun menilai barang senilai di bawah Rp1,5 juta dapat diproduksi dari dalam negeri.
“Kalau harga seperti itu kan barang-barang murahan. Jangan sampai lah barang murahan masuk dalam negeri. Toh dari dalam negeri juga sudah bisa bikin,” jelasnya.
Teten meminta agar para pelaku e-commerce mematuhi aturan yang berlaku di Indonesia terutama terkait kebijakan perdagangan elektronik yang sedang digodok pemerintah, guna melindungi produk lokal dari serbuan produk crossborder dari luar negeri.
Menurutnya, pemerintah tidak sekadar merevisi aturan itu. Namun, harus mampu menciptakan playing field yang sama. Perlakuan yang setara mengenai tarif dan biaya masuk.
Oleh sebab itu, pihaknya mengajukan dua usulan terkait dengan perlindungan produk UMKM dari serangan produk impor di platform e-commerce. Pertama, terkait dengan adanya tambahan kebijakan bea masuk untuk produk-produk jadi dari luar yang berpotensi menggerus keberadaan produk UMKM.
“Tadi saya lihat sendiri harganya di salah satu platform enggak masuk akal. Ini namanya sudah ada predatory pricing. Itu karena memang pasar kita terlalu longgar, sehingga barang mereka bisa masuk ke sini dengan harga semurah-murahnya,” kata Menteri Teten.
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menargetkan revisi beleid tersebut dapat segera terbit pada September 2023.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menargetkan revisi aturan ini dapat segera diselesaikan agar segera diterbitkan.
“Mudah-mudahan lebih cepat lebih bagus buat kami. Kalau bisa bulan ini kelar [harmonisasinya] biar September depan jadi,” kata Zulhas.
Zulhas menegaskan, dalam aturan itu pihaknya mengusulkan agar produk impor dengan harga di bawah US$100 dilarang dijual di platform online e-commerce maupun social commerce. Selain itu platform digital tidak boleh menjadi produsen.
“Misalnya TikTok bikin celana merek TikTok ya enggak bisa,” imbuhnya.